PELANGGARAN HAM DI
SEKOLAH
( STUDI KASUS PADA
SEKOLAH RSBI/SBI
)
A. Latar
Belakang
Pada dasarnya Hak Asasi
manusia adalah hak yang paling hakiki, hak – hak dasar yang melekat pada diri
seseorang secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha
Esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak
keadilan, hak kemerdekaan, hak – hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak
kesejahteraan yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun. Sedangkan
pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk
aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara
melawan hak hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak
asasi manusia seseorang atau kelompok yang dijamin Undang – Undang ini, dan
tidak mendapat, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dasar Hukum HAM
tersirat pada Pembukaan UUD 1945, selain itu diatur pula dalam Batang tubuh UUD
1945 memuat beberapa pasal sebagai implementasi hak asasi manusia, seperti :
pasal 27 (1) tentang kesamaan kedudukan warga Negara di muka hukum, pasal (2)
tentang warga Negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak,
pasal 28 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan. Pasal 29 (1) tentang kebebasan memluk agama, dan
pasal 33 mengatur tentang kesejahteraan sosial. UUD RIS 1949 dan UUD sementara
1950 memuat secara rinci ktentuan – ketentuan tentang hak asasi manusia.
Belakangan ini marak
terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh guru terhadap para siswanya maupun
antar siswa yang terjadi di hampir semua jenjang pendidikan, baik yang
dilakukan secara spontan maupun secara sistematis
Contoh kasus pelanggaran HAM di sekolah antara lain :
- Guru membeda-bedakan siswanya di sekolah (berdasarkan kepintaran, kekayaan, atau perilakunya).
- Guru memberikan sanksi atau hukuman kepada siswanya secara fisik (dijewer, dicubit, ditendang, disetrap di depan kelas atau dijemur di tengah lapangan).
- Siswa mengejek/menghina siswa yang lain.
- Siswa memalak atau menganiaya siswa yang lain.
- Siswa melakukan tawuran pelajar dengan teman sekolahnya ataupun dengan siswa dari sekolah yang lain.
B. Masalah
HAM
Permasalahan
pelanggaran HAM yang akan penulis angkat dalam tulisan sederhana ini adalah
fakta yang terjadi pada dunia pendidikan kita
dimana masih banyak terdapat diskriminasi yang dilaksanakan terutama
adalah pada sekolah dengan label RSBI
Mayoritas siswa RSBI
yang berasal dari kalangan ekonomi atas membuat siswa miskin merasa tertekan
karena tidak siap memasuki perbedaan gaya hidup dan budaya. RSBI menyebabkan culture shock bagi
siswa miskin. Siswa kaya otomatis mendominasi keadaan dan pergaulan,
sedangkan siswa miskin tidak berdaya mengimbangi gaya hidup mereka
sehingga menyebakan tekanan mental. Belum lagi guru yang cenderung
materialistis sehingga terjadi diskriminasi perlakuan. RSBI/SBI yang
nyata-nyata telah melegalkan penggolongan atau pembedaan perlakuan
terhadap sesama warga negara berdasarkan status sosial dan ekonomi.
C. Jenis
Pelanggaran HAM dan Peran-Masing-masing Pihak
1. Pemerintah
Keberadaan RSBI/SBI yang
pada awalnya di desain untuk menampung para putra terbaik bangsa yang
berprestasi tanpa membedakan latar belakang ekonomi social maupun budaya. Namun
pada prakteknya ternyata RSBI/SBI merupakan bentuk kebijakan diskriminatif dari
negara yang dilegalkan melalui UU. Hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945,
UU HAM bahkan UU Sisdiknas sendiri. Selain itu bertentangan dengan
Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil, Bahkan Konvensi UNESCO juga
menentangadanya diskriminasi dalam pendidikan.
2. Penyelenggara
RSBI
Penyelenggaraan RSBI juga telah melanggar hak konstitusi warga
negara dalam pemenuhan kewajiban mengikuti pendidikan dasar. Melalui RSBI,
pendidikan yang sejatinya merupakan prasyarat bagi penikmatan hak asasi
manusia, ternyata dirancang hanya untuk sebagian kecil rakyat Indonesia, bukan
untuk seluruh rakyat Indonesia.
Penyelenggaraan RSBI didasarkan pada pasal 50 ayat (3)
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional), yang
berbunyi “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”
Guna mendukung pasal tersebut, Pemerintah membuat
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum penyelenggara RSBI untuk
memungut bayaran tinggi pada warga negara dan bahkan tidak terjangkau oleh
kelompok miskin.
3.
Orang Tua / Masyarakat
RSBI adalah bentuk sekolah unggulan yang biayanya lebih mahal dari
biaya kuliah. Demi seorang anak, orang tua pasti akan berkorban, dipaksa secara
kasar atau halus berjuang untuk menyekolahkan anaknya. Hal ini sadar atau tidak
sebenarnya mereka (orang tua) tertindas. Ada keterpaksaan namun seolah
sukarela, yang disebut sebagai kekerasan simbolik, yakni kekerasan yang halus
sehingga yang menerima kekerasan tersebut seakan-akan merasa tidak tersiksa, bahkan
sukarela menerimanya. Ada banyak faktor yang menjadi sebab, diantaranya:
gengsi, ketakutan, keinginan mendapat status sosial lebih baik, khawatir masa
depan anaknya, dsb. Dalam konteks sekolah, hal ini perlu dipertimbangkan
pemerintah dan pihak sekolah. Kalau sekolah tidak memikirkan perasaan, kondisi
siswa dan orang tuanya, mereka adalah pelaku kekerasan simbolik.
D. Solusi
1. Pemerintah
Falsafah dan tujuan
pendidikan nasional harus dikembalikan kepada tujuan awalnya, yakni untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sehingga, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa
Indonesia dapat dicapai dan dinikmati seluruh rakyat Indonesia. Indonesia
merupakan negara kesejahteraan (welfare state) dimana pendidikan
merupakan barang publik (public goods) dan bukan barang pribadi (private
goods). Pemerintah harus segera
memperbaiki standar proses RSBI/SBI agar dikembalikan pada komitmen awalnya.
Apabila tidak bisa ya lebih baik ditutup saja, dari pada terus menerus terjadi
pelanggaran HAM
2. Penyelenggara
RSBI
Mengacu pada pedoman penyelenggaraan
RSBI, semestinya kesan diskriminatif dan elitis sebagaimana yang terjadi
seharusnya tidak terjadi. RSBI tidak dirancang sebagai sekolah golongan “the
have” tapi untuk semua kalangan. Karena itu dalam pengelolaan dana bantuan
RSBI, ada prosentase tegas 20% dari blockgrant diperuntukkan sebagai
beasiswa prestasi. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa banyak sekolah yang
memanfaatkan brand RSBI untuk menarik sumbangan atau SPP yang besar kepada
orangtua peserta didik yang kemudian menyebabkan ketidakmampuan sebagian
orangtua yang tidak mampu.
Diskriminasi juga
terjadi dalam pengaturan kelas. Kenyataan masih ditemuinya beberapa sekolah
yang membedakan kelas RSBI dengan kelas reguler membuktikan bahwa sekolah
tersebut masih belum sepenuhnya memahami filosofi RSBI. RSBI adalah SEKOLAH
yang bertaraf internasional, bukan KELAS bertaraf internasional. Jadi jika
sebuah sekolah mendapat predikat RSBI, maka otomatis proses-proses pendidikan
yang dilaksanakan mengacu pada standar nasional pendidikan yang diperkaya
dengan standar negara maju.
Pemerintah—dalam hal
ini Depdiknas—pun tidak jarang berlaku diskriminatif. Banyak blockgrant yang
diberikan kepada sekolah RSBI yang secara kuantitas dan kualitas sangat timpang
tidak diberikan kepada sekolah lain yang lebih membutuhkan. Ini memunculkan
kesan bahwa pemerintah sangat berambisi menjadikan sekolah RSBI sebagai
“mercusuar”.
Tidak hanya dalam
bidang kurikulum, pelaksanaan RSBI selama ini kurang berdaya hampir dalam semua
bidang. Ini terjadi lagi-lagi karena faktor mental pelaku pendidikan kita yang
kurang berani melakukan inovasi, improvisasi, dan cenderung terbelenggu
standar. Standar nasional pendidikan (SNP) dibuat tentu bersifat general, ruang
lingkupnya nasional. Karena itu setiap sekolah berhak—dan, mestinya,
wajib—menterjemahkan standar itu dalam konteks lokalnya. Pelaksanaan RSBI yang
terlalu terpaku standar inilah yang menjadikan sekolah seakan mengalienasi siswa
dari konteks budayanya.
Misalnya standar
isi, standar proses, standar penilaian, dan standar kompetensi lulusan
yang akan tercakup dalam kurikulum sekolah sebisa mungkin mengakomodir
pembelajaran kebudayaan lokal. Banyak sekolah yang menetapkan kurikulum hasil
dari copy-paste sekolah lain, bahkan guru membuat RPP hasil download
dari internet yang belum tentu sesuai dengan kondisi peserta didik.
Sekolah harus berani menetapkan kurikulum sendiri. Peraturan tentang Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memungkinkan ini dilakukan, dan RSBI tidak
melarang sekolah merancang kurikulum sendiri.
Standar pendidik dan
tenaga kependidikan sudah sangat detail menyatakan kompetensi sumber daya
manusia yang mesti dimiliki sekolah. Dalam pemenuhan standar ini sekolah tidak
boleh terpaku pada kualifikasi akademik semata, yang lebih penting tentu adalah
kompetensi SDM itu sendiri. Ketidaksesuaian kompetensi dengan standar harus
diminimalisir dengan pelatihan dan pendidikan.
Begitu pula dengan
standar yang lain. Standar sarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan.
Semestinya tidak diadopsi mentah-mentah. Sekolah perlu menetapkan target
pencapaian standar tersebut sesuai dengan kemampuan sekolah. Disamping 8 SNP
tersebut, sekolah RSBI juga dipersyaratkan memiliki keunggulan khusus.
Keunggulan khusus ini menjadi diferensiasi sekolah itu dari sekolah lain. Namun
kenyataannya tidak semua sekolah RSBI memiliki keunggulan khusus ini.
3. Orang
Tua / Masyarakat
penyelenggaraan RSBI
berpotensi melahirkan praktik korupsi. Kami menawarkan beberapa solusi untuk hal tersebut .
Paling sedikit ada tiga poin yang
menjadi catatan kritis atas keberadaan RSBI. Pertama, masyarakat yang peduli
pendidikan harus segera mengajukan judicial review kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memohon pasal RSBI dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
dibatalkan. Kedua, mendesak untuk dilakukan audit investigasi terhadap seluruh
sekolah RSBI oleh lembaga independen terpercaya. Ketiga, mendesak
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau lembaga independen lain
yang terpercaya supaya membuat tata kelola manajemen dan keuangan RSBI di
seluruh Indonesia.
E.
Penutup
Gambaran tersebut memperlihatkan sedang terjadi krisis
karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia saat ini, khususnya terkait
integritas kaum terdidik dalam menegakkan keadilan social di bidang pendidikan.
Makna keadilan sosial sejatinya dijunjung tinggi oleh kalangan terdidik yang
mempunyai kewenangan membuat kebijakan.
Kalangan birokrat di bidang pendidikan hendaknya sadar
dan arif melihat perkembangan masyarakat yang risau terhadap keberadaan RSBI.
Buat apa konsep itu dipertahankan terus jika lebih banyak mudharatnya ketimbang
manfaat bagi sebagian besar rakyat Indonesia
3 komentar:
lagi latihan
thx gan,.. gw lagi ngerjain soal Pkn hehehe.. sangat membantu
terima kasih,,sangat membantu sekali hehe
Posting Komentar